Film-film Dayak Grasak – Bangun Budaya (Merapi)

Film-film Dayak Grasak – Bangun Budaya (Merapi)

Selama pandemi anak-anak dusun Sumber di lereng gunung Merapi bingung menyalurkan hobi nggedruk (main buto / raksasa) sebagai sekuel dari seni rakyat. Tontonan di yutub dan rekaman-rekaman yang dipunyainya memanaskan hati.

Untungnya ada si Havis ini anak yang cerdik. Dia menginisiasi kawan-kawan untuk selalu main ke Sanggar Bangun Budaya. Sebuah tempat yang sebelum pandemi banyak kegiatan  seninya, namun selama dua setengah tahun tidak ada aktivitas karena patuh pada anjuran pemerintah tentang jaga jarak dan kumpul-kumpul. Lokasi ini cuma sepelemparan apem dari rumahnya.

Lama-kelamaan kalangan dewasa trenyuh juga melihat semangat dan peluh anak-anak mengucur. Jadwal yang sebenarnya belum ada (karena pandemi) memicu mereka untuk membimbing anak-anak.

Setelah ritual slametan Merti Jiwo tibalah saatnya mereka menyajikan Dayak Grasak. Rencana pentas pentas di arena luar ruang yang sudah disiapkan akhirnya berganti di dalam rumah. Namun demikian, tidak mengurangi semangat anak-anak tampil trengginas, atraktif, penuh percaya diri.

Semangat mereka sungguh meluap-luap. Selain karena memang mendalami peran yang dibawakan juga karena lama tidak pentas.

Selama pentas, mereka juga pandai berakting “ndadi” / kesurupan di akhir babak. Seolah-olah kerasukan dengan cara merobohkan diri dan bergumul dengan teman-temannya di lantai. Pada pentas yang sifatnya pertunjukan beberapa komunitas mengambil sikap untuk tidak kesurupan karena bagi mereka seni akan nampak indah jika dilakukan dengan sadar.

 

Cedera pelipis kayak si Nevan saat itu pun ga kerasa. Salah satu penyebab di balik ini sebenarnya adalah kecapekan luar biasa setelah energinya terkuras namun masih juga ingin akting.

Dayak grasak adalah jenis tarian rakyat yang banyak disukai masyarakat kabupaten Magelang karena gerakannya atraktif penuh enerji, tiada lelah meski tampil lebih dari 30 menit. Belum lagi kostum topeng buto / raksasa yang berbeda satu dengan yang lain. Hentakan kaki yang penuh krincing malah menambah daya magis untuk penonton.

Topeng dan kostum yang digunakan anak-anak tersebut merupakan buatan komunitas mereka sendiri. Seringkali anak-anak tidak sabar menunggu kalangan dewasa membuatkannya. Begitu pulang sekolah, cepat-cepat ganti pakaian, nongkrongin di sanggar tanpa kenal lapar dan haus demi melihat “progress” properti idamannya.

Komunitas ini juga menerima pesanan lo. Monggo langsung kontak Sanggar Bangun Budaya.

Anggota sanggar Bangun Budaya harus menempuh jarak 33 km menuju lokasi Merti Jiwo. Rencana awalnya mereka berangkat menggunakan 2 mobil, namun semangat anak-anak menggoyahkan iman kalangan dewasa dan orangtuanya sehingga akhirnya membawa 6 mobil.

AGENDA LAIN

Festival
Tandang Tandur
Ceritaku
Rejeban
Pameran
Merti Jiwo

tlabo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *