Menuju Festival Mandiri Berkelanjutan, sebuah Utopia? (2 / 7)
Pertama-tama disini akan dibahas Padepokan Seni Tjipta Boedaja di Tutupngisor, sebuah dusun di kaki gunung Merapi, Jawa Tengah. Padepokan ini merupakan ajang pembelajaran tentang kesenian dan kebudayaan yang tercatat lahir pada pertengahan bulan Suro tahun 1937. Pendirinya adalah Romo Yoso Sudarmo seorang guru bagi banyak orang. Beliau mendirikan komunitas ini sebagai daya pikat supaya orang dari luar daerah datang ke dusunnya dan berbagi pengalaman sehingga wawasan warga setempat semakin luas, tidak kuper. Hal tersebut mengingat dusun Tutupngisor berada jauh dari keramaian. Pada jaman tersebut lokasinya susah diakses karena sangat terpencil.
Romo Yoso Sudarmo adalah seseorang yang mempunyai talenta di banyak bidang, diantaranya kesenian dan pengobatan sehingga banyak orang mendatanginya. Selain itu beliau juga sering diundang ke berbagai tempat karena keahliannya tersebut. Hal yang patut diingat, bahwa area sekitarnya adalah gunung Merapi dan Merbabu sehingga banyak dijalani dengan berjalan kaki belasan kilometer selama berjam-jam.
Dari semua agenda tersebut, Suran merupakan yang terbesar dalam pengelolaan sumber dayanya. Mungkin banyak yang tidak setuju jika suran ini saya masukkan dalam khasanah penyelenggaraan festival karena berpandangan bahwa suran adalah tradisi yang dijalani pewaris kebudayaan yang terbentuk di sana. Bukan festival yang lebih ngepop atau kontemporer. Penulis menyertakannya di sini karena meresapi roh pengelolaan suran sebagai arena belajar.
Suran diselenggarakan pada pertengahan bulan Suro yang merupakan bulan pertama pada kalender Jawa. Suran bagi Tjipta Boedaja adalah peringatan lahirnya padepokan.. Pada bulan ini, ka dalam suatu rangkaian beberapa hari yang diawali pembacaan surat Yaasin, Kenduri, Uyon – Uyon Candi, Tari Kembar Mayang, Wayang Orang Sakral lakon Lumbung Tugu Mas, Kirab Jathilan, Belasan Kesenian Rakyat (reog, gedruk, kuda lumping, jathilan, dll), dan diakhiri dengan pementasan Wayang Orang gabungan dari beberapa kota. Semua aktivitas itu berlangsung selama 4 hari.
Bayangkan bagaimana mempersiapkannya?
Tentu saja jauh hari anggota padepokan sudah bersibuk ria untuk mensukseskannya.
Apakah mereka menggunakan lembar demi lembar proposal? Tidak. Apakah ada anggaran rinci tentang kebutuhan yang harus disiapkan? Tidak juga.
Selama ini panitia perayaan Suran mengerjakannya dengan pendekatan kekeluargaan. Keberadaan mereka yang sudah 80 tahun lebih menjadikan jaringan yang sudah cukup mengakar. Para anggota padepokan maupun keluarga besar pendiri sudah tahu jadwal kapan suran berikutnya. Pada saat-saat itu mereka menghimpun sumber daya yang ada untuk mensukseskannya.
Ibu-ibu dari beberapa desa di sekitar hilir mudik berdatangan membawa hasil panen untuk dibawa ke dapur. Para lelaki di dusun Tutupngisor memotong bambu milik para tetangga yang secara suka rela disumbangkan untuk kebutuhan suran. Tim-tim kesenian jauh hari mendaftarkan kelompoknya untuk ikut pentas. Suran bagi mereka adalah berkah tersendiri. Mereka mempercayai, dengan ikut tampilnya di acara tersebut mereka mendapatkan spirit dalam hidupnya. Beberapa diantaranya mengungkapkan bahwa mereka bisa membeli sepeda motor dan barang-barang lain itu adalah disebabkan kesertaannya di suran. Mereka datang ke suran tanpa insentif sama sekali. Bahkan tentu saja waktu yang seharusnya untuk bekerja mendapatkan uang digunakannya untuk persiapan kelompoknya.
Hal yang sangat mengangumkan adalah daya tahan panitia yang terlibat. Kalaupun di hitung saat acara, itu berlangsung selama 4 hari siang dan malam.
Bayangkan.
Hari pertama mereka melakukan ritual dari siang sampai malam hari.
Hari kedua, para pemuda pemudi setempat dan anggota lainnya pentas wayang orang sakral sampai jam 2 pagi. Begitu selesai, mereka membersihakan panggung dan sekitarnya.
Istirahat cukup 1 – 2 jam, kemudian bangun dan bersiap merias untuk terlibat dalam jathilan, kesenian rakyat yang pagi itu dipentaskan.
Hari ketiga, Selesai jam subuhan, mereka main jathilan, dimulai dari berdoa di makam Romo Yoso Soedarmo sang pendiri, dilanjutkan berjalan mengelilingi dusun sebanyak 3 kali dan kemudian pentas sampai sekitar pukul 9.
Selesai pentas jathilan, pukul 10 pagi mereka sudah berkumpul di pendopo dengan busana Jawa untuk menyambut dan melayani tamu yang berdatangan sampai malam hari. Mengatur hilir mudik tim-tim kesenian pentas bergantian.
Malam hari, mereka Bersama seniman seniwati dari berbagai daerah pentas wayang orang lagi sampai pagi.
Hari ke empat. Pagi pukul 10 an mereka sudah bersiap untuk menyambut dan melayani tamu serta mengkondisikan pertunjukan beberapa kesenian rakyat.
Apabila anggaran yang digunakan untuk mengelola sumber daya tersebut dituangkan dalam angka, bisa jadi pada angka 300 juta. Namun karena semuanya dalam manajemen kekeluargaan, manajemen tepa selira, sumber daya terkumpul dengan sendirinya.
foto dari laman FB Rachmat Nurgiyanta
(bersambung 3 / 7)